Sabtu, 03 Desember 2011

Tari Bedhaya (Jawa Tengah)

 
Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). Dari sekian banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang masih dapat diketahui tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.

Banyak tari Bedhaya yang hilang atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan dari pihak kraton Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak diperbolehkan untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan). Bila menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat mendalami tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: September 1997).

Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang dianggap paling tua adalah Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, maka diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay. Moertiyah, Wamancara: September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah Keputren, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di keputren termasuk menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih beta diri.

Sekitar tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan pertama kali Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan dan lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga sekarang tari Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton. (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
Gerak Tari     : sembilan orang penari dengan menggunakan tata busana dan rias wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan penari sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen, masing-masing penari memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu, dada, batak, buntil, dan empat orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus dan tenteram dalam gerakannya.
Jenis Instrumen : Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang, gong

Tari Gambyong (Jawa Tengah)

 
Tari Gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Ciri khas, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang dan gending.

Instrumen      : gender, kendang, kenong, kempul, dan gong

Perkembangan : Awal mula istilah Gambying tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek.
Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta.
Penari ini juga dsiebutkan dalam buku "Cariyos Lelampahanipun" karya Suwargi R.Ng. Ronggowarsito (1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemnahiran dalam menari dan kemerduan  dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.

Gerak tari
Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan
dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi
dalam tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang  jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis.
Sebagai contoh , pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil),
nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan
diletakkan di depan kaki kiri, kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak
kaki tetap merapat ke lanati). Gerak kaki yang spsifik pada tari Gambyong adalah gerak embat
atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas.
Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangklaian gerak,
yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya.
Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung, yaitu srisig, singket ukel karana, kengser, dan nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan
(sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg).